Sudah terlalu banyak perangkat yang disiapkan untuk mengakomodasi kelalaian, atau bahkan, kesengajaan amoralitas di dunia maya. UU ITE misalnya. Ketimbang melebar kemana-mana. Hendaknya kasus dalam ranah ITE ini dapat dijawab dengan UU tersebut.
Alih-alih menyelesaikan, biasanya kita lebih tertarik dengan sensasinya. Sensasi itu sendiri kadang jelmaan dari "senang melihat orang lain susah". Pembunuhan abjad menjadi hilirnya. Bahkan untuk kasus "sekelas" ini biasanya beritanya selalu up to date di banyak sekali media. Investigasi dilakukan dengan serius. Seserius polesan sandiwara politikus.
Entah itu si Luna- si Ariel, atau si apa, tentu mampu menjadi pelajaran. Bahwa teknologi itu bermata dua. Anda mampu melambung dengannya. Sesaat kemudian dengan mudahnya tersungkur.
Terlepas dari benar atau tidak, asli atau tidak, Luna-Ariel, saya kira bukan yang terakhir. Tapi setidaknya, kasus ini mampu menjadi blue print penanganan dalam kasus serupa berikutnya. Semuanya, hendaknya berujung pada efek jera. Dari hulu, kehatian-hatian harus menjadi panglima dalam menggunakan teknologi. Penyalahgunaan teknologi--carding, pornografi, cracking-- biasanya berawal dari kecerobohan, kenaifan atau ke-gaptek-an seseorang terhadap teknologi yang dimanfaatkan oleh jagoan berwatak jahat. Kita mampu ambil bab dalam mengatasi hulunya: pencegahan.
Akhirul, aura negatif itu menular. Kita tersadar mungkin dikala melihat kuatnya gejala negativisme di sekitar kita. Media, tetangga, teman, dan... Dan percayalah itu semua berkaitan dan menghipnotis satu sama lain. Stop!
So, jangan bugil di depan kamera! Stop!
0 Komentar untuk "Usaha Kita Luna, Ariel, Alona dan, STOP!"