Kuterimalah suratmu telah kubaca dan saya mengerti...
Dewa 19. Ya, Dewa 19, bukan Power Metal. Demikian kawan asli Surabaya dengan bangganya mengenalkan nama band tersebut. Meski berasal dari kota yang terkenal band metalnya, sahabat yang arek Suroboyo ini tetap ngeh dengan band ini. Lagunya pass di hati. Demikian memori terbang dikala jauh dirantau. Jogja, awal 90-an.
Kenangan lama terkuak kembali. Meski tak selalu indah. Kangen, demikian judul lagu itu terdengar lekat. Sayup-sayup saya teringat, selain lagu ini, Tak Bisa ke Lain Hati-nya Kla Project juga kerap mengudara di radio pada masa itu. Menjadi pembuka sandiwara radio yang sayangnya saya lupa judulnya. Yang saya tahu, lewat radio kepunyaan satu orang kawan, kehidupan sekamar yang berjumlah 10 orang menjadi semarak. Kehidupan berasrama terhiasi oleh gemuruh kenangan ini.
Bagi anak belasan tahun, lagu cinta tak melulu berarti usulan bercinta. Senang senandungnya sahaja sudah cukup. Begitulah yang saya, dan mungkin anda, alami dengan lagu tersebut. Ahmad Dhani, sang pencipta lagu, mulai mencipta liukan lirik yang menyayat hati itu pada usia penghujung belasan tahun. Sembilan belas. Gila!
Tak terasa dua puluhan tahun berlalu, Dewa 19 kian membesar dan melegenda. Selain Slank dan Gigi, Dewa 19 ialah grup band yang mungkin mengiringi perjalanan hidup kita, generasi 80-90an. Setiap cuilan hidup pastilah ada satu lagu yang berkesan khusus. Episode sedih, cuilan senang, pasti ada lagu mereka yang nyangkut. Dan kini, banyak sekali puja dan puji telah hinggap di pundak mereka.
Kucoba kembangkan sayap patahku...
Perjalanan musikalitas Dewa, menurut saya, berbanding terbalik dengan pentolannya, Ahmad Dhani. Jika Dewa telah mencapai tahap kemapanan dalam bermusik dan menasbihkan diri sebagai salah satu legenda musik Indonesia—Dhani sebaliknya. Makin kesini, lagu dan lirik yang diciptakan semakin ringan dan kriuk. Penuh kompromi dengan selera pasar. Hingga akhirnya, lagu-lagunya—minus Dewa— menjadi langganan tampil di program musik tv, pagi dan sore hari. Tentu dengan lipsync dan penonton alay. Sesuatu yang kontradiktif jikalau mengenang dikala Dewa di puncak popularitas: tampil megah di panggung dengan ratusan ribu baladewa.
Neng Neng Nong Nang Neng Nong...
Tak aneh, alasannya ialah dulu beliau pernah mengeluarkan pernyataan akan fokus menjadi pemusik—tidak ingin menjadi bintang iklan, bintang infotainment dan bintang lainnya. Beberapa tawaran kontrak di luar musik kerap ditolaknya. Sekarang tidak lagi. Dhani telah menemukan mainan yang baru. Dia telah berpindah kuadran: menjadi pedagang musik. Apapun yang laku, juallah.
Hidup ialah perjuangan tanpa henti-henti...
Pencapaian demi pencapaian dalam hidup Dhani. Demikian yang saya saksikan di TV malam kemarin. Mahakarya Ahmad Dhani, tajuk konsernya. Pelakonnya siapa lagi kalo bukan titisan Bung Karno, Ahmad Dhani. Secara tersirat, beliau mengatakan: "Anda boleh saja sombong, tapi karya andalah yang berhak menepuk dadanya." Dan untuk hal ini, Dhani selamat.
Bilapun dongeng Dewa berakhir menyerupai Queen, band idola Dhani. Kita tentu tak sepenuhnya lupa, bahwa di Indonesia pernah ada sebuah band yang bisa mengawinkan idealisme dan komersialisme. Meracik lagu yang tak kacangan namun tetap laris di pasar. Dewa 19. Itu.
Kamulah satu-satunya yang ternyata mengerti aku...
Tag :
Musik
0 Komentar untuk "Usaha Kita Kangen Dewa 19, Kangen Legenda Musik Indonesia"